Nikmati Peran dan Syukuri Amanah oleh Fitriana Pusporini PAI KUA Kutasari
Oleh Fitriana Pusporini (Penyuluh Agama Islam KUA Kutasari)Editor: Imam Edi Siswanto
Bijaksana Seperti Pemanah
Dalam seminar nasional Stoikisme bareng Fahrudin Faiz dengan tema “Menggapai Kebahagiaan dan Tujuan Hidup” oleh himpunan Mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling Islam 2025 (HMPS BKI X LK NURA) di Auditorium 1 UIN SAIZU Purwokerto, Fahrudin faiz cendekiawan dan filsuf modern Indonesia menyampaikan orang yang bijaksana itu seperti seorang pemanah, Kamis (22/5/2025).
Ia tidak terlalu larut dalam kecemasan apakah anak panahnya akan tepat mengenai sasaran atau tidak. Baginya, hal yang jauh lebih penting adalah:
Apakah ia sudah membidik dengan sungguh-sungguh, apakah ia telah mengerahkan segenap kemampuan terbaik saat menarik busur dan melepas anak panah itu.
BACA: https://iparipurbalingga.blogspot.com/2025/04/bumiku-sayang-bumiku-malang.html
Inilah yang disebut sikap "apathe", dalam arti filosofisnya—bukan acuh tak acuh, melainkan ketenangan batin dalam menghadapi hasil. Ia tidak abai, tapi juga tidak diperbudak oleh hasil akhir.
Ia percaya, bahwa selama proses dijalani dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, maka apapun hasilnya adalah bagian dari kehendak yang lebih tinggi.
Sikap ini mengajarkan kita untuk fokus pada ikhtiar, bukan semata hasil. Untuk memperbaiki proses, bukan sekadar mengejar pengakuan.
Karena dalam kehidupan, kita tidak bisa selalu menjamin apa yang akan terjadi, tapi kita bisa memilih untuk selalu melakukan yang terbaik.
Mari kita nikmati setiap peran yang sedang kita jalani—apapun itu. Sebagai orang tua, sebagai pegawai, sebagai sahabat, sebagai bagian dari masyarakat, bahkan sebagai hamba Allah.
Jangan sampai peran-peran itu berubah menjadi beban. Karena ketika kita merasa terbebani, segalanya akan terasa berat dan sulit dijalankan secara maksimal.
Padahal, setiap peran adalah bentuk amanah. Dan ketika kita masih diberi amanah oleh Allah Swt, itu artinya kita masih dipercaya.
Kita masih dipandang mampu, masih diberi kesempatan untuk berbuat baik, untuk memberi manfaat, dan untuk tumbuh. Maka mari kita syukuri dan jalani dengan hati yang lapang.
Dalam filsafat yang di sampaikan Fahrudin Faiz, manusia dikenal sebagai homo faber—makhluk yang tidak bisa diam. Fitrah kita adalah bergerak, berkarya, beraktivitas.
Dan Allah Swt telah mensuplai kita dengan berbagai peran yang datang silih berganti, bukan untuk memberatkan, tapi untuk mendewasakan.
Semua ini tanda cinta dari-Nya. Karena Allah masih sayang pada kita, masih memberi ruang untuk terus memperbaiki diri dan mempersembahkan yang terbaik.
Maka mari kita jalani semua ini dengan sebaik mungkin—bukan dengan memaksa dan menyiksa diri, tapi dengan bijak mengenali batas diri, menjaga keseimbangan, dan tetap bersyukur dalam setiap langkah.
Karena sejatinya, hidup ini bukan soal menjadi sempurna, tapi tentang bagaimana kita tetap ikhlas menjalani setiap peran yang Allah titipkan, dengan hati yang tulus dan niat yang lurus.(*)
Dalam seminar nasional Stoikisme bareng Fahrudin Faiz dengan tema “Menggapai Kebahagiaan dan Tujuan Hidup” oleh himpunan Mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling Islam 2025 (HMPS BKI X LK NURA) di Auditorium 1 UIN SAIZU Purwokerto, Fahrudin faiz cendekiawan dan filsuf modern Indonesia menyampaikan orang yang bijaksana itu seperti seorang pemanah, Kamis (22/5/2025).
Ia tidak terlalu larut dalam kecemasan apakah anak panahnya akan tepat mengenai sasaran atau tidak. Baginya, hal yang jauh lebih penting adalah:
Apakah ia sudah membidik dengan sungguh-sungguh, apakah ia telah mengerahkan segenap kemampuan terbaik saat menarik busur dan melepas anak panah itu.
BACA: https://iparipurbalingga.blogspot.com/2025/04/bumiku-sayang-bumiku-malang.html
Inilah yang disebut sikap "apathe", dalam arti filosofisnya—bukan acuh tak acuh, melainkan ketenangan batin dalam menghadapi hasil. Ia tidak abai, tapi juga tidak diperbudak oleh hasil akhir.
Ia percaya, bahwa selama proses dijalani dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, maka apapun hasilnya adalah bagian dari kehendak yang lebih tinggi.
Sikap ini mengajarkan kita untuk fokus pada ikhtiar, bukan semata hasil. Untuk memperbaiki proses, bukan sekadar mengejar pengakuan.
Karena dalam kehidupan, kita tidak bisa selalu menjamin apa yang akan terjadi, tapi kita bisa memilih untuk selalu melakukan yang terbaik.
Mari kita nikmati setiap peran yang sedang kita jalani—apapun itu. Sebagai orang tua, sebagai pegawai, sebagai sahabat, sebagai bagian dari masyarakat, bahkan sebagai hamba Allah.
Jangan sampai peran-peran itu berubah menjadi beban. Karena ketika kita merasa terbebani, segalanya akan terasa berat dan sulit dijalankan secara maksimal.
Padahal, setiap peran adalah bentuk amanah. Dan ketika kita masih diberi amanah oleh Allah Swt, itu artinya kita masih dipercaya.
Kita masih dipandang mampu, masih diberi kesempatan untuk berbuat baik, untuk memberi manfaat, dan untuk tumbuh. Maka mari kita syukuri dan jalani dengan hati yang lapang.
Dalam filsafat yang di sampaikan Fahrudin Faiz, manusia dikenal sebagai homo faber—makhluk yang tidak bisa diam. Fitrah kita adalah bergerak, berkarya, beraktivitas.
Dan Allah Swt telah mensuplai kita dengan berbagai peran yang datang silih berganti, bukan untuk memberatkan, tapi untuk mendewasakan.
Semua ini tanda cinta dari-Nya. Karena Allah masih sayang pada kita, masih memberi ruang untuk terus memperbaiki diri dan mempersembahkan yang terbaik.
Maka mari kita jalani semua ini dengan sebaik mungkin—bukan dengan memaksa dan menyiksa diri, tapi dengan bijak mengenali batas diri, menjaga keseimbangan, dan tetap bersyukur dalam setiap langkah.
Karena sejatinya, hidup ini bukan soal menjadi sempurna, tapi tentang bagaimana kita tetap ikhlas menjalani setiap peran yang Allah titipkan, dengan hati yang tulus dan niat yang lurus.(*)
Masya Alloh
BalasHapus