Berakhirnya Ramadhan menyisakan rasa sedih dan bahagia di relung hati setiap orang beriman. Melimpahnya kebaikan yang Allah SWT sediakan di bulan Ramadhan, membuat kita berandai-andai dan berharap sekiranya satu tahun itu semuanya Ramadhan.
BACA: https://iparipurbalingga.blogspot.com/2025/03/lailatul-qadr-bonus-ramadhan-orang.html
Namun tentu saja tidaklah mungkin semua bulan dalam setahun adalah Ramadhan, karena Ramadhan yang mulia pasti akan berakhir. Maka yang harus kita sikapi adalah bagaimana agar kita dapat menggapai kesuksesan Ramadhan yang hanya hadir sekali dalam setahun.
Barometer kesuksesan sebuah amal tidak hanya dicapai saat proses pelaksanaan dari amalan tersebut, namun juga pasca amalan itu ditunaikan. Seperti dalam ibadah sholat, barometer sukses sholat seseorang tidak hanya ditentukan saat proses pelaksanaan sholat, tapi justru pasca sholat itu ditunaikan, yakni ketika mampu merefleksikan nilai-nilai sholat dalam kehidupan, kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi apapun (Q.S. An-Nisa/4 : 103). Dengan begitu akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar (Q.S. Al-Ankabut/29 : 45).
Begitupun dengan barometer sukses Ramadhan, tidak hanya saat pelaksanaan berbagai amaliyah Ramadhan yang dijalani dengan penuh keimanan dan keikhlasan, namun justru pasca Ramadhan berakhir, yakni ketika mampu menghidupkan ’Ruh Ramadhan’ agar senantiasa hadir dalam kehidupan sehari-hari di bulan Syawal dan bulan-bulan lainnya. Dan bulan Syawal sejatinya menjadi bulan pembuktian ketaqwaan kepada Allah SWT dengan meningkatkan atau minimal mempertahankan berbagai bentuk amalan yang telah terbiasa ditunaikan selama bulan Ramadhan.
Namun ketika yang terjadi justru degradasi (penurunan) baik kuantitas maupun kualitas ibadah, dimana dapat dilihat dari fenomena kembali sepinya masjid-masjid dari rutinitas sholat berjama’ah dan berbagai rutinitas lain yang saat Ramadhan begitu semarak, sehingga terasa suasana religius selama Ramadhan berangsur sirna. Maka, kondisi seperti ini bisa jadi menjadi pertanda ketidaksuksesan Ramadhan.
Sungguh tidak ada istilah istirahat dalam beribadah, kecuali jika ajal telah tiba. Oleh karena itu, janganlah kita mengenal dan merasa dekat dengan Allah SWT hanya di bulan Ramadhan dengan semangat berpuasa, semangat qiyamul-lail, semangat tadarus al-Qur’an, semangat sholat berjama’ah masjid, semangat menghadiri kajian (taklim), semangat berbagi dengan sesama. Namun sepeninggal Ramadhan, semuanya terhenti dan terasa berat untuk dilakukan.
Islam tidak menghendaki umatnya hanya mentaati Allah SWT di saat tertentu, dan setelah itu dilepas. Seorang ulama salaf pernah berpesan ”Jadikanlah Allah sebagai tujuan dalam beramal, bukan Ramadhan”. Artinya janganlah sampai ketaatan kepada Allah SWT hanya di bulan Ramadhan, sementara di bulan-bulan lainnya diabaikan. Dalam hal ini Allah SWT telah memberikan rambu kepada kita melalui firman-Nya,
Namun tentu saja tidaklah mungkin semua bulan dalam setahun adalah Ramadhan, karena Ramadhan yang mulia pasti akan berakhir. Maka yang harus kita sikapi adalah bagaimana agar kita dapat menggapai kesuksesan Ramadhan yang hanya hadir sekali dalam setahun.
Barometer kesuksesan sebuah amal tidak hanya dicapai saat proses pelaksanaan dari amalan tersebut, namun juga pasca amalan itu ditunaikan. Seperti dalam ibadah sholat, barometer sukses sholat seseorang tidak hanya ditentukan saat proses pelaksanaan sholat, tapi justru pasca sholat itu ditunaikan, yakni ketika mampu merefleksikan nilai-nilai sholat dalam kehidupan, kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi apapun (Q.S. An-Nisa/4 : 103). Dengan begitu akan terhindar dari perbuatan keji dan munkar (Q.S. Al-Ankabut/29 : 45).
Begitupun dengan barometer sukses Ramadhan, tidak hanya saat pelaksanaan berbagai amaliyah Ramadhan yang dijalani dengan penuh keimanan dan keikhlasan, namun justru pasca Ramadhan berakhir, yakni ketika mampu menghidupkan ’Ruh Ramadhan’ agar senantiasa hadir dalam kehidupan sehari-hari di bulan Syawal dan bulan-bulan lainnya. Dan bulan Syawal sejatinya menjadi bulan pembuktian ketaqwaan kepada Allah SWT dengan meningkatkan atau minimal mempertahankan berbagai bentuk amalan yang telah terbiasa ditunaikan selama bulan Ramadhan.
Namun ketika yang terjadi justru degradasi (penurunan) baik kuantitas maupun kualitas ibadah, dimana dapat dilihat dari fenomena kembali sepinya masjid-masjid dari rutinitas sholat berjama’ah dan berbagai rutinitas lain yang saat Ramadhan begitu semarak, sehingga terasa suasana religius selama Ramadhan berangsur sirna. Maka, kondisi seperti ini bisa jadi menjadi pertanda ketidaksuksesan Ramadhan.
Sungguh tidak ada istilah istirahat dalam beribadah, kecuali jika ajal telah tiba. Oleh karena itu, janganlah kita mengenal dan merasa dekat dengan Allah SWT hanya di bulan Ramadhan dengan semangat berpuasa, semangat qiyamul-lail, semangat tadarus al-Qur’an, semangat sholat berjama’ah masjid, semangat menghadiri kajian (taklim), semangat berbagi dengan sesama. Namun sepeninggal Ramadhan, semuanya terhenti dan terasa berat untuk dilakukan.
Islam tidak menghendaki umatnya hanya mentaati Allah SWT di saat tertentu, dan setelah itu dilepas. Seorang ulama salaf pernah berpesan ”Jadikanlah Allah sebagai tujuan dalam beramal, bukan Ramadhan”. Artinya janganlah sampai ketaatan kepada Allah SWT hanya di bulan Ramadhan, sementara di bulan-bulan lainnya diabaikan. Dalam hal ini Allah SWT telah memberikan rambu kepada kita melalui firman-Nya,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا
Artinya ”Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi tercerai berai kembali...” (Q.S. An-Nahl / 16 : 92)
Ayat ini memberikan gambaran tentang suatu perbuatan yang sia-sia dan merugi. Bagaimana tidak, jika seseorang yang telah bersusah payah memintal helai demi helai benang menjadi sebuah kain yang bagus, dan setelah itu diurai kembali.
Inilah yang dilakukan seorang perempuan dari penduduk Mekah yang bernama Saidah Al-Asadiyah yang aktifitasnya mengumpulkan serat dan bulu, lalu dia mengikatnya, setelah terikat dengan kuat ia menguraikannya kembali. Tentu ini merupakan perbuatan sia-sia dan merugi.
Sama halnya ketika kita telah terbiasa menjalani berbagai amal ibadah di bulan Ramadhan, namun terhenti saat Ramadhan pergi. Padahal menjadikan terputusnya amal adalah sebuah pelanggaran sebagaimana firman Allah SWT,
Sama halnya ketika kita telah terbiasa menjalani berbagai amal ibadah di bulan Ramadhan, namun terhenti saat Ramadhan pergi. Padahal menjadikan terputusnya amal adalah sebuah pelanggaran sebagaimana firman Allah SWT,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
Artinya”Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” (Q.S. Muhammad/47 : 33).
Berdasarkan ayat ini, bahwa menjadikan terputusnya amal merupakan pelanggaran terhadap ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Sungguh merupakan pembatalan amal, ketika Ramadhan meninggalkan kita, namun tidak termotivasi untuk meningkatkan atau minimal mempertahankan rutinitas amal yang telah terbiasa dilakukan selama Ramadhan.
Allah SWT tidak menghendaki hamba-Nya mengalami keterputusan amal. Karena di balik terputusnya amal menjadikan terputusnya rahmat Allah SWT dan menjadi penyebab hilangnya penjagaan Allah SWT.
Maka betapa pentingnya menjalani berbagai amalan secara berkesinambungan (istiqomah). Salah satu contoh amalan yang dapat dilakukan secara berkesinambungan pasca berakhirnya Ramadhan adalah ibadah puasa. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshori, Rasulullah SAW bersabda,
عَنْ أبِي أَيُّوْبَ اْلأَنْصَارِيِّ – رضي الله عنه – أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه و سلّم- قَالَ: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَهْرِ
Artinya Dari Abu Ayyub al-Anshari r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seolah-olah ia telah berpuasa setahun penuh.'' (HR. Muslim)
Adanya hadits ini menunjukkan bahwa spirit puasa Ramadhan dapat terus dilakukan secara berkesinambungan. Setelah menunaikan kewajiban puasa Ramadhan, dapat dilanjutkan dengan puasa sunah enam hari di bulan Syawal.
Selanjutnya dapat dilaksanakan di setiap bulannya dengan menunaikan puasa sunah ayamul-bidh. Bahkan dapat pula dilanjutkan dengan menunaikan puasa sunah Senin dan Kamis di setiap pekannya.
Begitupun ketika Ramadhan terbiasa qiyamul-lail (shalat tarawih), maka di luar Ramadhan dapat dilanjutkan meskipun hanya dengan dua rokaat shalat malam dan satu rakaat shalat witir. Atau ketika Ramadhan bertadarus al-Qur’an sehari satu juz, di luar Ramadhan dapat dilanjutkan meskipun hanya satu ’ain dalam sehari.
Di balik amalan yang sedikit namun jika dilakukan secara istiqomah, maka insya Allah akan ada keberkahan didalamnya. Dan Allah SWT lebih mencintai amalan yang sedikit namun dilakukan dengan istiqomah, sebagaimana dinyatakan dalam hadits Rasulullah SAW,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا وَاعْلَمُوْا أَنْ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ ، وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Artinya Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: "Beramallah sesuai dengan sunnah, dan berlaku imbanglah, dan ketahuilah bahwa salah seorang tidak akan masuk surga karena amalnya, sesungguhnya amal yang dicintai Allah adalah amal yang terus menerus walaupun sedikit." (H.R. Bukhori dan Muslim)
Sejatinya berbagai latihan dan gemblengan melalui madrasah Ramadhan dapat memantik tumbuhnya pribadi-pribadi muslim yang sholeh dan suci sesuai fitrahnya. Artinya kesucian dan kesholihan tersebut tidak hanya dicapai di bulan Ramadhan saja, tetapi dapat dipertahankan atau bahkan berusaha ditingkatkan di luar bulan Ramadhan, sehingga terjadi sebuah perubahan atau peningkatan kualitas kesholihan seorang mukmin melalui madrasah Ramadhan.
Sebaliknya, jika berakhirnya Ramadhan berakhir pula segala rutinitas baiknya atau berbalik pada keadaan semula sebelum Ramadhan, tentunya predikat taqwa dan ’idul fitri yang diharapkan pun akan jauh panggang dari api, tidak mungkin dapat diraih. Jika itu semua berakhir, selayaknya kita bermuhasabah, jangan-jangan kita telah menjadikan Ramadhan sebagai tujuan dari ibadah kita.
Padahal ulama salaf pernah berpesan : ”Jadikanlah Allah sebagai tujuan, bukan bulan Ramadhan”. Maksudnya, jangan sampai terjadi, ketaatan kita kepada Allah SWT hanya di bulan Ramadhan seolah menjadikan Ramadhan sebagai tujuan ibadah, namun Allah lah tujuan dari semua ibadah yang dilakukan.
Islam tidak menghendaki seseorang mentaati Allah SWT hanya di bulan tertentu, setelah itu terhenti. Maka di bulan Syawal ini, marilah kita niatkan untuk terus menghidupkan ”ruh Ramadhan” dengan beristiqomah dalam beramal.
Mari kita jadikan diri kita sebagai orang yang taat kepada Allah di setiap bulan, di manapun dan kapanpun berada sebagaimana pesan Rasulullah SAW ”Bertaqwalah kamu sekalian di manapun kamu berada..” (H.R. Tirmidzi, dari Abu Dzar r.a.)
Wallohu a’lam bish-showwab...
Oleh: Yuyu Yuniawati, S.Ag,/PAIF PNS KUA Padamara dan Kalimanah.
Publisher: Imam Edi Siswanto
Wallohu a’lam bish-showwab...
Oleh: Yuyu Yuniawati, S.Ag,/PAIF PNS KUA Padamara dan Kalimanah.
Publisher: Imam Edi Siswanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar