IKATAN PENYULUH AGAMA REPUBLIK INDONESIA
BAB I KEANGGOTAAN, SYARAT-SYARAT KEANGGOTAAN, PEMBERHENTIAN SEMENTARA DAN PENGUKUHAN KEMBALI
Pasal 1
(1) Anggota biasa adalah Para Penyuluh Agama Indonesia;
(2) Anggota luar biasa adalah Pejabat Struktural atau Fungsional Keagamaan lainnya di lingkungan Kementerian Agama yang berkaitan dengan Tupoksi dan Pengembangan karir Penyuluh Agama;
(3) Anggota kehormatan adalah mereka yang diusulkan oleh Pengurus diangkat dan ditetapkan dalam Musyawarah Nasional.
Pasal 2
Syarat Anggota Biasa
Penyuluh Agama yang dikukuhkan menjadi Anggota biasa harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:
(1) Berstatus sebagai Penyuluh Agama berdasarkan Surat Keputusan;
(2) Terdaftar dalam IPARI dan memiliki Nomor Induk Anggota.
Pasal 3
Pemberhentian Anggota
Keanggotaan berakhir apabila :
(1) Meninggal dunia;
(2) Diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat dari jabatannya sebagai Penyuluh Agama;
(3) Tidak lagi menjabat sebagai Penyuluh Agama;
(4) Pemberhentian anggota diajukan oleh Pengurus Daerah kepada Pengurus Wilayah; dan ditetapkan pemberhentiannya oleh Pengurus Pusat.
Pasal 4
(1) Anggota biasa yang melanggar Kode Etik dan Kode Perilaku Penyuluh Agama dapat diberhentikan oleh Instansi Pembina berdasar rekomendasi Majelis Kehormatan Etik;
(2) Anggota yang direkomendasikan berhenti oleh Majelis Kehormatan Etik diberikan kesempatan untuk membela diri dalam sidang Majelis Kehormatan Etik tersebut.
BAB II HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 5
Hak Anggota
Anggota biasa berhak menjadi pengurus dan majelis kehormatan etik;
(1) Anggota biasa berhak mendapatkan advokasi;
(2) Anggota biasa berhak mengajukan saran dan usul;
(3) Anggota luar biasa dan anggota kehormatan berhak menjadi majelis kehormatan etik;
(4) Anggota luar biasa dan anggota kehormatan dapat memberikan usul, saran dan nasihat.
Pasal 6
Kewajiban Anggota
(1) Anggota wajib mematuhi AD/ART IPARI;
(2) Anggota wajib mematuhi Kode Etik Profesi dan Kode Perilaku;
(3) Anggota wajib mematuhi setiap keputusan Pengurus Pusat, Wilayah dan Daerah;
(4) Anggota wajib menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan dan nama baik IPARI;
(5) Anggota biasa wajib membayar uang iuran anggota.
BAB III MUSYAWARAH DAN PRESIDIUM
Pasal 7
Musyawarah Nasional
(1) Musyawarah Nasional yang selanjutnya disebut Munas adalah forum pemegang kekuasaan tertinggi yang diselenggarakan 4 (empat) tahun sekali;
(2) Musyawarah Nasional berwenang:
a. Menetapkan atau mengubah Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan Kode Etik Profesi;
b. Menetapkan Program Umum IPARI;
c. Sebagai forum menyampaikan pertanggungjawaban Pengurus Pusat Forum;
d. Sebagai forum pemilihan 5 (lima) orang Formatur;
e. Menetapkan keputusan-keputusan lainnya.
(3) Musyawarah Nasional difasilitasi oleh Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai Instansi Pembina;
(4) Peserta Musyawarah Nasional memilih tim Formatur
(5) Syarat Calon Formatur:
a. Pegawai Negeri Sipil;
b. Minimal Penyuluh Agama Ahli Madya;
c. Bersedia tinggal di Ibu Kota Negara.
(6) Tata cara pemilihan Tim Formatur ditetapkan dalam Tata Tertib Musyawarah Nasional;
(7) Salah satu anggota tim Formatur dipilih sebagai ketua berdasarkan persetujuan instansi Pembina;
(8) Ketua Umum terpilih dan Tim Formatur menyusun Pengurus Pusat secara lengkap dalam sidang Tim Formatur paling lambat 12 kali 24 jam;
(9) Pengurus dipilih untuk masa jabatan 4 empat tahun;
(10) Ketua Umum Terpilih menerbitkan Surat Permohonan Penandatanganan Surat Keputusan tentang Susunan Pengurus Pusat yang telah disusun oleh Tim Formatur kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Republik Indonesia;
(11) Pengurus Pusat dikukuhkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
Pasal 8
(1) Pengurus Pusat menentukan jumlah utusan dalam Musyawarah Nasional untuk tiap-tiap Wilayah berdasarkan pertimbangan jumlah anggotanya sekurang- kurangnya1 (satu) orang;
(2) Utusan Wilayah terdiri dari unsur Pengurus Wilayah dan unsur Pengurus Daerah yang ditetapkan dalam Rapat Pengurus Wilayah;
(3) Pemanggilan peserta untuk mengikuti Musyawarah Nasional oleh Pengurus Pusat disampaikan kepada wilayah sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari sebelum Musyawarah Nasional tersebut dilaksanakan;
(4) Pengurus Pusat menentukan jumlah peninjau dalam Musyawarah Nasional untuk tiap-tiap wilayah berdasarkan pertimbangan jumlah anggota di wilayah yang bersangkutan.
Pasal 9
Setiap Keputusan Musyawarah Nasional diambil berdasarkan musyawarah mufakat, dan apabila tidak tercapai mufakat maka pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak.
Pasal 10
Musyawarah Nasional Luar Biasa
(1) Dalam keadaan luar biasa dapat diselenggarakan Musyawarah Nasional Luar Biasaatau Munaslub atas usul Pengurus Pusat dan dukungan tertulis 1/(sepertiga) dari jumlah Pengurus Wilayah seluruh Indonesia;
(2) Ketentuan Musyawarah Nasional Luar Biasa dilaksanakan sebagaimana ketentuan Musyawarah Nasional.
Pasal 11
Presidium Sidang Musyawarah Nasional
(1) Musyawarah Nasional dipimpin oleh Presidium Sidang;
(2) Presidium Sidang berjumlah (tiga) orang yang dipilih oleh Peserta Musyawarah Nasional;
(3) Sebelum presidium sidang terpilih, sidang dipimpin oleh Panitia Pusat;
(4) Tata cara pemilihan Presidium Sidang ditetapkan dalam Tata Tertib Musyawarah Nasional;
(5) Presidium Sidang mengatur jalannya seluruh rangkaian sidang Musyawarah Nasional.
Pasal 12
Tata Tertib persidangan Musyawarah Nasional dirancang oleh Panitia Musyawarah Nasional dan ditetapkan dalam Musyawarah Nasional.
Pasal 13
Musyawarah Wilayah
(1) Musyawarah Wilayah yang selanjutnya disebut Muswil adalah forum pertanggungjawaban Pengurus Wilayah dan Pemilihan Ketua PengurusWilayah;
(2) Musyawarah Wilayah difasilitasi oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi sebagai Instansi Pembina;
(3) Peserta Musyawarah Wilayah memilih Ketua Pengurus Wilayah untuk masa jabatan 4 empat tahun;
(4) Ketua Wilayah Terpilih adalah Ketua Tim Formatur;
(5) Peserta Musyawarah Wilayah memilih Tim Formatur Musyawarah Wilayah dalam pemilihan secara terpisah;
(6) Tim Formatur terdiri dari Ketua Terpilih dan Ketua Domisioner ditambah 3 orang perwakilan peserta Musyawarah Wilayah yang dipilih;
(7) Tata cara pemilihan anggota tim Formatur ditetapkan dalam Tata Tertib Musyawarah Wilayah;
(8) Setelah terpilihnya Tim Formatur maka Pengurus Daerah dinyatakan Demisioner;
(9) Tim Formatur menyusun Pengurus Wilayah secara lengkap dalam sidang Tim Formatur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Musyawarah Wilayah;
(10) Surat Keputusan tentang Susunan Pengurus Wilayah diterbitkan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi;
(11) Pengurus Wilayah dikukuhkan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi.
Pasal 14
(1) Pengurus Wilayah menentukan jumlah utusan dalam Musyawarah Wilayah untuk tiap-tiap Daerah berdasarkan pertimbangan jumlah anggotanya sekurang- kurangnya1 (satu) orang;
(2) Utusan daerah terdiri dari unsur pengurus daerah yang ditetapkan dalam rapat pengurus daerah;
(3) Pemanggilan peserta untuk mengikuti Musyawarah Wilayah oleh Pengurus Wilayahdisampaikan kepada Daerah sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari sebelum Musyawarah Wilayah dilaksanakan;
(4) Pengurus Wilayah menentukan jumlah peninjau dalam Musyawarah Wilayah untuk tiap-tiap Daerah berdasarkan pertimbangan jumlah anggota di Daerah yang bersangkutan;
(5) Setiap keputusan Musyawarah Wilayah diambil berdasarkan musyawarah mufakat, dan apabila tidak tercapai mufakat maka pengambilan keputusan dilakukan dengansuara terbanyak.
Pasal 15
Presidium Sidang Musyawarah Wilayah
(1) Musyawarah Wilayah dipimpin oleh Presidium Sidang;
(2) Presidium Sidang berjumlah (tiga) orang yang dipilih dari Peserta Musyawarah Wilayah;
(3) Sebelum Presidium Sidang terpilih, sidang dipimpin oleh panitia Musyawarah Wilayah;
(4) Tata cara pemilihan Presidium Sidang ditetapkan dalam Tata Tertib Pemilihan Presidium Sidang Musyawarah Wilayah;
(5) Presidium Sidang mengatur seluruh rangkaian sidang Musyawarah Wilayah.
Pasal 16
Tata Tertib sidang Musyawarah Wilayah dirancang oleh panitia Musyawarah Wilayah danditetapkan dalam Musyawarah Wilayah.
Pasal 17
Musyawarah Daerah
(1) Musyawarah Daerah yang selanjutnya disebut Musyawarah Daerah dilaksanakan sebagai forum pertanggungjawaban Pengurus Daerah dan Pemilihan Ketua Pengurus Daerah;
(2) Musyawarah Daerah difasilitasi oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota sebagai Instansi Pembina;
(3) Peserta Musyawarah Daerah memilih Ketua Pengurus Daerah IPARI untuk masa jabatan 4 (empat) tahun;
(4) Ketua Daerah Terpilih adalah Ketua Tim Formatur;
(5) Peserta Musyawarah Daerah memilih Tim Formatur Musyawarah Daerah dalam pemilihan secara terpisah;
(6) Tim Formatur terdiri dari Ketua Terpilih dan Ketua Domisioner ditambah 3 orang perwakilan peserta Musyawarah Daerah yang dipilih;
(7) Tata cara pemilihan anggota tim Formatur ditetapkan dalam Tata tertib Musyawarah Daerah;
(8) Setelah terpilihnya Tim Formatur maka Pengurus Daerah dinyatakan Demisioner
(9) Tim Formatur menyusun Pengurus Daerah secara lengkap dalam sidang Tim Formatur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Musyawarah Daerah;
(10) Surat Keputusan tentang Susunan Pengurus Daerah diterbitkan oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota;
(11) Pengurus Daerah dikukuhkan oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
Pasal 18
Presidium Sidang Musyawarah Daerah
(1) Pimpinan Musyawarah Daerah dipimpin oleh Presidium Sidang;
(2) Presidium Sidang berjumlah 3 (tiga) orang yang dipilih dari Peserta Musyawarah Daerah;
(3) Sementara Presidium Sidang belum terpilih, sidang dipimpin oleh Pengurus Daerah;
(4) Tata cara pemilihan Presidium Sidang ditetapkan dalam Tata Tertib Pemilihan Presidium Sidang Musyawarah Daerah;
(5) Presidium Sidang mengatur jalannya Musyawarah Daerah hingga terpilihnya Tim Formatur Musyawarah Daerah.
Pasal 19
(1) Peserta Musyawarah Daerah adalah seluruh Penyuluh Agama yang berada di wilayah kerja Daerah;
(2) Pemanggilan peserta Musyawarah Daerah disampaikan kepada Kantor Kementerian Agama kabupaten/Kota yang berada di wilayah kerja Daerah;
(3) Pengurus Daerah menentukan jumlah peninjau dalam Musyawarah Daerah untuk tiap-tiap Daerah didasarkan atas pertimbangan jumlah anggota di Daerah yang bersangkutan;
(4) Setiap keputusan Musyawarah Daerah diambil atas berdasar musyawarah mufakat, dan apabila tidak tercapai pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak.
Pasal 20
Tata tertib persidangan dalam Musyawarah Daerah ditetapkan bersama oleh Pengurus Daerah bersama peserta yang mengikuti Musyawarah Daerah tersebut.
BAB IV KEDUDUKAN PENGURUS PUSAT, WILAYAH DAN DAERAH
Pasal 21
(1) Pengurus Pusat berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia;
(2) Pengurus Wilayah berkedudukan di Ibukota Provinsi;
(3) Pengurus Daerah berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota.
BAB V PERGANTIAN ANTAR WAKTU PENGURUS
Pasal 22
Pengurus Pusat
Ketua Umum
Jika Ketua Umum mengundurkan diri/berhalangan tetap maka :
a. Sekretaris Umum menyelenggarakan Rapat Pleno Pengurus Pusat dengan
b. mengundang Pengurus Harian ditambah Ketua Wilayah definitif, selambat- lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung sejak Ketua Umum secara resmi mengundurkan diri/dinyatakan berhalangan tetap;
c. Sekretaris Umum memimpin pelaksanaan Rapat Pleno untuk memilih Presidium Rapat Pleno;
d. Presidium Rapat Pleno memimpin rapat untuk memilih Pejabat Sementara KetuaUmum sampai dengan dilaksanakannya Musyawarah Nasional Luar Biasa;
e. Dalam Rapat Pleno tersebut seluruh undangan yang hadir memiliki Hak Suara dan Hak Bicara;
f. Presidium Rapat Pleno mengesahkan hasil rapat dalam bentuk Surat Keputusan.
a. Pengurus yang mengundurkan diri/berhalangan ditetapkan melalui Surat Keputusan yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum;
b. Jika Sekretaris Umum, Bendahara Umum dan atau Ketua Departemen mengundurkan diri/dinyatakan berhalangan tetap, maka Ketua Umum menunjuk salah satu Pengurus Pusat untuk menduduki jabatan tersebut;
c. Penunjukan sebagaimana dimaksud pada pasal 18 ayat (2) huruf b, ditetapkan melalui Surat Keputusan.
Pasal 23
Pengurus Wilayah
(1) Ketua Wilayah
Jika Ketua Wilayah mengundurkan diri/berhalangan tetap maka :
a. Sekretaris Wilayah menyelenggarakan Rapat Pleno Pengurus Wilayah dengan mengundang Pengurus Harian ditambah Ketua Daerah definitif selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung sejak Ketua Wilayah secara resmi mengundurkan diri/dinyatakan berhalangan tetap;
b. Sekretaris Wilayah memimpin pelaksanaan Rapat Pleno untuk memilih Presidium Rapat Pleno;
c. Presidium Rapat Pleno memimpin rapat untuk memilih Pejabat Sementara Ketua Wilayah sampai dengan dilaksanakannya Musyawarah Wilayah/Musyawarah Wilayah Luar Biasa;
d. Dalam Rapat Pleno seluruh undangan yang hadir mempunyai hak suara dan hak bicara;
e. Presidium Rapat Pleno mengesahkan hasil rapat dalam bentuk Surat Keputusan;
f. Surat Keputusan sebagaimana dimaksud pada pasal 19 ayat (1) huruf e, diajukan kepada Pengurus
Pusat untuk mendapatkan ketetapan.
(2) Pengurus Wilayaha. Pengurus Wilayah yang mengundurkan diri/berhalangan tetap ditetapkan melalui Surat Keputusan yang ditandatangani oleh Ketua Wilayah dan Sekretaris Wilayah;
b. Jika Sekretaris Wilayah, Bendahara Wilayah dan atau Ketua Bidang mengundurkan diri/dinyatakan berhalangan tetap, maka Ketua Wilayah menunjuk salah satu Pengurus Wilayah untuk menduduki jabatan tersebut;
c. Penunjukan sebagaimana dimaksud pada pasal 19 ayat (2) huruf b, ditetapkan melalui Surat Keputusan.
Pasal 24
Pengurus Daerah
(1) Ketua Daerah
Jika Ketua Daerah mengundurkan diri/berhalangan tetap maka:
a. Sekretaris Daerah menyelenggarakan Rapat Pleno Pengurus Daerah dengan mengundang Pengurus Lengkap selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung sejak Ketua Daerah secara resmi mengundurkan diri/dinyatakan berhalangan tetap;
b. Sekretaris Daerah memimpin pelaksanaan Rapat Pleno untuk memilih Presidium Rapat Pleno;
c. Presidium Rapat Pleno memimpin rapat untuk memilih Pejabat Sementara
KetuaDaerah sampai dengan dilaksanakannya Musyawarah Daerah Luar Biasa;
d. Dalam Rapat Pleno yang hadir mempunyai Hak Suara dan Hak Bicara;
e. Presidium Rapat Pleno mengesahkan hasil Rapat dalam bentuk Surat Keputusan;
f. Surat Keputusan sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat (1) huruf e, diajukan kepada Pengurus Pusat untuk mendapatkan ketetapan;
a. Pengurus Daerah yang mengundurkan diri/berhalangan tetap ditetapkan melalui Surat Keputusan yang ditandatangani oleh Ketua Daerah dan Sekretaris Daerah;
b. Jika Sekretaris Daerah, Bendahara Daerah dan atau Ketua Bidang mengundurkan diri/dinyatakan berhalangan tetap, maka Ketua Daerah menunjuksalah satu Pengurus Daerah untuk menduduki jabatan tersebut;
c. Penunjukan sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat (2) huruf b, ditetapkan melalui Surat Keputusan.
Pasal 25
(1) Ketua Umum dapat mengangkat pengurus baru untuk mengganti posisi Pengurus Pusat yang kosong akibat pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat;
(2) Ketua Wilayah dapat mengangkat pengurus baru untuk mengganti posisi Pengurus Wilayah yang kosong akibat pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat;
(3) Ketua Daerah dapat mengangkat Pengurus baru untuk mengganti posisi Pengurus Daerah yang kosong akibat pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat;
(4) Pengangkatan pengurus antar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil rapat pleno baik tingkat nasional, wilayah maupun daerah.
BAB VI TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 26
Pengurus Pusat
(1) Pengurus Pusat bertugas menyusun kebijakan organisasi dan melaksanakan segala ketentuan dan kebijakan sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan-keputusan Musyawarah Nasional, Peraturan Organisasi dan Rapat Kerja Nasional;
(2) Penjabaran tugas Pengurus Pusat diatur tersendiri dalam peraturan organisasi yang menjadi bagian tak terpisahkan dan tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar danAnggaran Rumah Tangga;
(3) Dalam menjalankan kebijakan dimaksud, Pengurus Pusat merupakan badan pelaksana tertinggi;
(4) Pengurus Pusat bertanggung jawab kepada Musyawarah Nasional atas kepengurusan organisasi selama masa bakti.
Pasal 27
Pengurus Wilayah
(1) Pengurus Wilayah bertugas dan berkewajiban :
a. Melaksanakan segala ketentuan dan kebijakan sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, keputusan-keputusan Musyawarah dan rapat kerja;
b. Melaksanakan program kerja baik program kerja nasional maupun program kerja wilayah;
c. Mengawasi, mengkoordinasi, dan membina anggota;
d. Menegakkan disiplin dan mengatur ketertiban serta kelancaran keuangan Pengurus Wilayah;
(2) Pengurus Wilayah bertanggung jawab atas terlaksananya segala ketentuan dalam Kode Etik Profesi, Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Keputusan Musyawarah Nasional dan Musyawarah Wilayah;
(3) Pengurus Wilayah bertanggung jawab kepada Musyawarah Wilayah atas pelaksanaan tugas untuk masa baktinya;
(4) Pengurus Wilayah berkewajiban membuat laporan kegiatan kepada Pengurus Pusatsekurangnya setiap 1 (satu) tahun sekali.
Pasal 28
Pengurus Daerah
(1) Pengurus Daerah bertugas dan berkewajiban :
a. segala ketentuan dan kebijakan sesuai dengan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, keputusan-keputusan Musyawarah dan rapat kerja;
b. melaksanakan program kerja yang telah ditetapkan oleh Pengurus Pusat, Wilayah dan Daerah menegakkan disiplin dan mengatur ketertiban serta kelancaran keuangan Pengurus Daerah;
(2) Penjabaran tugas Pengurus Daerah diatur dalam peraturan;
(3) Pengurus Daerah membuat laporan kepada Pengurus Wilayah dengan tembusan kepada Pengurus Pusat setiap 1 (satu) tahun sekali.
BAB VII KEUANGAN
Pasal 29
(1) Setiap anggota wajib membayar iuran tahunan yang besarannya ditetapkan dalam Musyawarah Nasional;
(2) Iuran tahunan menjadi dokumen autentik keaktifan keanggotaan tahun berjalan;
(3) Dokumen autentik iuran tahunan menjadi dasar anggota dapat memperoleh hak- haknya;
(4) Besaran iuran sebagaimana dimaksud pada pasal 25 ayat (1), dialokasikan dengan rincian sebagai berikut :
a. 15% (lima belas persen) untuk Pusat;
b. 25% (dua puluh lima persen) untuk Wilayah;
c. 60% (enam puluh persen) untuk Daerah;
d. Uang iuran dikelola secara terpusat dan didistribusikan sesuai tingkat partisipasi anggota di wilayah/daerah masing-masing;
(5) Mekanisme penarikan dan penggunaan uang iuran diatur dalam peraturan pengurus tersendiri.
BAB VIII ATRIBUT
Pasal 30Atribut terdiri atas Bendera, Logo, Tata Persuratan, Stempel, Mars/Hymne serta makna didalamnya yang ditetapkan kemudian melalui Peraturan yang ditetapkan oleh Pengurus Pusat;
BAB IX SANKSI KEANGGOTAAN
Pasal 31
(1) Sanksi pelanggaran Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, Kode Etik, Kode Perilaku dan Peraturan dapat berupa:
a. teguran tertulis dalam hal pelanggaran diputuskan sebagai pelanggaran ringanyang masih dapat dilakukan pembinaan;
b. pembekuan sementara keanggotaan dalam hal pelanggaran diputuskan sebagaipelanggaran sedang, dengan harapan masih dapat dilakukan pembinaan;
c. pencabutan keanggotaan dalam hal pelanggaran diputuskan sebagai pelanggaran berat yang tidak dapat dilakukan pembinaan atau mencederai harkat, martabat dan kredibilitas;
d. pencabutan keanggotaan dalam hal anggota pernah mendapatkan teguran tertulis atau pembekuan sementara keanggotaan; atau
e. pencabutan keanggotaan dalam hal anggota dijatuhi pidana berdasarkan putusan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
(2) Penetapan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (1) dilakukan oleh Ketua Umum berdasarkan keputusan Majelis Kehormatan Etik.
BAB X PENUTUP
Pasal 32
(1) Segala sesuatu yang belum diatur dalam Anggaran Rumah Tangga ini dibuat peraturan
tersendiri oleh Pengurus Pusat;
(2) Anggaran Rumah Tangga ini berlaku sejak ditetapkan dan mengikat kepada seluruh anggota.
Ditetapkan Di Jakarta
Pada tanggal 26 MEI 2023
Editor : Imam Edi Siswanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar